Wednesday, 9 October 2013

Sejarah Masuknya Agama Kristen di Jepang

Kekristenan pertama sekali diperkenalkan oleh misionaris Yesuit Spanyol yang bernama Franciscus Xaverius. Ia tiba pada tanggal 15 Agustus 1549 bersama dua orang misionaris Yesuit lainnya (Jpg: Iezusu Kai) dan seorang Jepang yang bernama Anjiro yang bertugas sebagai penerjemah untuknya (bertemu dengannya di Malaka pada tahun 1547). Xaverius sampai di Kagoshima di pulau Kyushu atas izin dari Daimyo Satsuma yang bernama Shimazu. Dia menginjili dan menyusun sebuah katekhismus kecil. Hasilnya ia mampu men-tobat-kan sekitar 100 orang menjadi Kristen.

Berdasarkan catatan Nippon Seikyo-shi (Sejarah Agama Barat di Jepang), Franciscus Xaverius dalam penginjilannya juga merawat orang-orang sakit (akan tetapi terbatas pada perawatan). Selama tinggal di Jepang beberapa tahun (dia meninggalkan Jepang ke India di akhir 1551) di kelihatannya memiliki motto “Sewaktu di Roma bertindaklah seperti yang dilakukan oleh penduduk Roma”. Sebagai akibatnya demi mengikuti selera penduduk Jepang, ia memasukkan sejumlah unsur Buddhisme dan Shinto yang masuk dalam ibadah Kristen. Oleh karena Xaverius memahami bahwa Buddhisme Jepang adalah sekte monoteis (dewanya disebut sebagai Danichi), Xavier kemudian pergi memberitakan bahwa Danichi adalah Allah Kristen. Hal ini malah membingungkan masyarakat. Mereka menganggap bahwa kekristenan hanyalah salah satu sekte agama Buddha. Setelah mengetahui hal ini, dia kemudian turun ke jalan menentang orang-orang Buddha. Akan tetapi hal ini malah berakibat lain yang tidak diharapkannya. Permasalahan yang lebih parah terlihat ketika ia harus menghadapi sejumlah dosa yang dilihatnya dalam budaya Jepang. Salah satu dosanya adalah masalah sodomi.



Setelah Yesuit masuk, keadaan politis Jepang yang terpisah-pisah memberi kesempatan penyebaran agama ke berbagai daerah, secara khusus di Kyushu dimana Daimyo Kristen seperti Omura Sumitada dibaptis menjadi Kristen. Dalam hubungan dengan pekerjaan misionaris Yesuit yang secara politis sensitif, ordo Fransiskan mengadopsi sebuah pendekatan penginjilan yang lebih agresif. Akan tetapi kelihatannya ordo Yesuit dan ordo Franciscan tidak menjalin kerjasama yang baik. Mereka masing-masing membawa kepentingannya sendiri. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh latar belakang negaranya masing-masing. Ordo Yesuit berasal dari Portugis dan ordo Fransiskan dari Spanyol. Sehingga oleh karena begitu pentingnya perdagangan, menyebabkan timbulnya dua kelompok di dalam kekristenan Jepang. Yesuit melihat derajatnya lebih tinggi dari pada Fransiskan. Mereka hidup diantara kaum Daimyo dan memfokuskan perhatiannya pada golongan atas masyarakat, penguasa kelompok samurai. Sementara di lain pihak, Fransiskan dengan rendah hati dan kehidupan yang sederhana berusaha untuk mengusahakan pertobatan diantara golongan yang lebih rendah. Pada dasarnya hal ini membawa kehancuran pada keduanya.

Berbagai masalah lain juga muncul yang mengakibatkan terhalangnya perkembangan kekristenan ke dalam masyarakat Jepang. Penghalang utama terdapat pada masalah keuangan dan kesalahpahaman etnis. Gereja tidak pernah secara penuh mendukung misi yang dilakukan oleh ordo Yesuit. Sehingga oleh karenanya mereka harus berusaha untuk menjalankan misi atas dasar usaha mereka secara mandiri. Dengan keadaan yang demikian ketika Valignano datang ke Jepang pada tahun 1579, ia menyadari bahwa misi akan sangat berkembang dengan mengirim sejumlah orang Kristen Jepang ke Roma. Selain untuk memperkenalkan Eropa kepada orang-orang Jepang dengan membawa empat orang anak-anak, ia ingin menunjukkan bagaimana hasil pekerjaan Ordo Yesuit (yang bekerja di Asia Timur) akan mengatasi berbagai kerugian yang ditimbulkan oleh Reformasi. Melaluinya Ia juga berharap agar paus mendukung monopoli Yesuit atas Jepang dan memberikan bantuan bagi mereka.

Disamping usaha yang demikian, kaum Yesuit juga terpaksa bergabung dengan sejumlah usaha perdagangan. Akan tetapi usaha mereka ini justru menimbulkan kecurigaan pemerintah. Ordo Yesuit tidak pernah hadir secara aktif untuk menjalankan gereja dan menyebarkan ajarannya. Mereka tidak mengajari penduduk yang telah menjadi Kristen untuk turut serta memberitakan Injil. Hal ini tidak mereka lakukan karena rasa tidak percaya terhadap orang-orang Jepang. Dengan keadaan yang demikian, maka hal ini menyebabkan dua hal, pertama jumlah mereka tidak bertambah banyak, dan kedua hal itu menimbulkan kebencian orang-orang Jepang yang telah dibaptis.

Kaum Yesuit pada ketika itu, bagaimanapun juga terlibat dalam dunia politik. Mereka berusaha untuk mempengaruhi dunia perdagangan untuk keuntungan mereka sendiri, dan bahkan berniat untuk memiliki kekuasaan di sana. Hal yang paling nyata adalah pengambil-alihan Nagasaki. Akan tetapi mereka tidak berkuasa disana lama-lama karena Hideyoshi memergoki mereka saat melakukan kegiatannya di Nagasaki. Contoh lain adalah pendekatan Yesuit pada kaisar untuk memperoleh kuasa untuk melawan Hindeyoshi. Semua tindakan ini dianggap subversif pada bakufu (pemerintah Jepang). Dan memang demikianlah kenyataannya. Ketika pada akhirnya Tokugawa menyatukan Jepang, satu dari tindakan utamanya adalah untuk mengusir orang-orang Kristen.

Selain apa yang telah disebutkan di atas, oleh karena masyarakat Jepang ketika itu terdesentralisasi, menyebabkan ordo Yesuit berada dalam posisi yang menguntungkan dan juga sekaligus merugikan. Disatu sisi mereka harus memusatkan perhatiannya pada para daimyo yang tentunya tidak praktis. Akan tetapi di sisi lain ini juga menguntungkan. Sebab mereka dapat berpindah dan mendapat perlindungan dari daimyo yang telah mereka injili ketika ada daimyo yang menolak mereka. Namun hal ini tidak berlangsung lama sejak Tokugawa menyatukan Jepang. Melalui kedudukannya ia dapat menelurkan satu keputusan untuk melakukan perlawanan dengan edik-ediknya.

Pertobatan para Daimyo

Daimyo Kristen juga turut secara aktif membantu misionaris Yesuit untuk mengusahakan pertobatan di daerahnya. Kadang melalui paksaan, intimidasi dan pengrusakan simbol-simbol religius penduduk setempat dan juga pengrusakan institusi-institusinya. Akan tetapi disamping usaha untuk menginjili, mereka juga harus tetap bertahan ketika Hideyoshi memberlakukan penutupan kekristenan di Jepang tahun 1578. Mereka bahkan sampai menghilang ketika rezim Tokugawa mulai melakukan pengejaran dan pembantaian terhadap agama Kristen.

Secara umum motivasi pertobatan mereka ada bermacam-macam. Omura Sumitada (Don Batholomeo) penguasa daerah Sonogi di provinsi Hizen (sekarang bagian dari Nagasaki) tertarik menjadi Kristen tahun 1563 setelah Yesuit berjanji untuk menjamin bahwa kapal dagang Portugis akan datang ke daerah kekuasaannya. Dia kemudian memberikan daerah Nagasaki pada Yesuit tahun 1580. Otomo Sorin pemimpin di provinsi Bungo (sekarang bagian dari Oita) adalah penguasa Kyushu. Ia dibaptis pada tahun 1578 setelah sebelumnya berteman selama kurang lebih 27 tahun dengan para misionaris Yesuit. Sejumlah Daimyo menjadi Kristen melalui pengaruh pertemanan. Sebagai contoh Takayama Ukon (Don Justo) dibaptis tahun 1564 atas pengaruh Gamo Ujisato (Don Leao) dan Ijisato membantu Ukoto untuk meyakinkan Kuroda Yoshitaka (Don Simeao). Tetapi para daimyo Kristen tidak pernah mengusahakan sebuah gerakan kesatuan, loyalitas iman ordo Yesuit telah salah sasaran. Mereka lebih mengutamakan kepentingan pribadi mereka daripada kepentingan perkembangan gereja. Mereka masih mengutamakan statusnya sebagai daimyo daripada iman kristennya.

Pergumulan yang Dihadapi oleh Misionaris di Jepang

Masa Pemerintahan Toyotomi Hideyoshi

Oda Nobunaga, selama rezimnya sebagai pemimpin militer di Jepang di tahun 1570an dan 1580an bertemu dengan usaha penginjilan yang dilakukan oleh Katolik. Harapannya untuk bersaing dengan saingannya yang beragama Buddha mendorongnya untuk membiarkan aktivitas misionaris Katolik di Jepang. Di Kyoto, ibukota Jepang selama abad ke-17, sejumlah orang telah dibabptiskan menjadi Kristen. Akan tetapi ketika kekuasaan beralih pada Toyotomi Hideyoshi (yang memimpin Jepang sejak tahun 1582 sampai 1598), sikap anti Eropa mulai muncul.

Pertama sekali Toyotomi Hideyoshi (dikenal sebagai Taikosuma) yang tinggal di Puri Osaka tidak terlalu ambil pusing dengan keberadaan misionaris Kristen. Akan tetapi masalah mulai muncul ketika kepulangannya dari Kyushu. Sebelumnya dia mengumumkan sebuah peringatan di Hakata (sekarang Fukuoka) pada tanggal 23 Juli 1587 untuk menentang penginjilan yang dilakukan melalui pemaksaan. Esok harinya ia mengeluarkan dekrit bahwa misionaris Yesuit (bateren) harus meninggalkan Jepang dalam 20 hari. Meskipun dalam masa itu sejumlah gereja dihancurkan, tidak ada misionaris yang meninggalkan Jepang secara permanen.

Masalah semakin runyam ketika pada tanggal 26 Agustus 1596 kapal perang San Felipe (Spanyol) berlayar dari Manila ke Acapulco dan menyandar ke pantai Shukoku di sebelah tenggara kepulauan Jepang. Kapal tersebut berlabuh di pantai Urado di prefektur Tosa yang sekarang dikenal sebagai Kochi. Kapal-kapal mereka yang dilengkapi dengan persenjataan menimbulkan keraguan dan menyebabkan Hideyoshi kehilangan kepercayaan atas Eropa. Hal ini dikarenakan ia mengetahui bahwa Philippina baru ditaklukkan oleh Spanyol. Hideyoshi yakin bahwa mereka tidak boleh dipercaya. Hal ini kemudian segera menimbulkan pertanyaan di kalangan penguasa Jepang. Barang muatannya diambil alih oleh shogun Hideyoshi untuk menghindari kemungkinan usaha Spanyol untuk menguasai Jepang.

Akan tetapi tidak cukup sampai di situ, untuk dalam usaha untuk segera menyelesaikan persoalan keamanan nasional tersebut ordo Fransiskan kemudian dituduh sebagai mata-mata Spanyol. Fransiskan menyangkal bahwa cerita itu tidak benar dan menekankan bahwa hal itu adalah kebohongan yang dibuat oleh ordo Yesuit untuk menyingkirkan mereka. Pada akhirnya setelah peristiwa ini Hideyoshi memperbaharui lagi dekritnya atas misionaris Kristen. Dengan dekrit ini terbunuhlah 26 martir pada tanggal 5 Februari 1597. Toyotomi Hideyoshi memerintahkan Terazawa Hazaburo (saudara dari gubernur Nagasaki) membunuh mereka di bukit Nishizaka. Para tahanan dipaksa untuk melakukan perjalanan panjang selama musim dingin dari prefektur Tosa (Shikoku) ke Nagasaki (Kyushu) dimana mereka akan dibantai di depan umum. Bagi Terazawa sendiri, hal ini sangat berat mengingat bahwa salah satu misionaris yang akan dieksekusi adalah teman karibnya, yakni Paul Miki. Dua misionaris Yesuit lainnya yang bernama Pasuo dan Rodriguez disuruh untuk memimpin ibadah eksekusi mereka. Jika diperinci, terdapat 9 orang misionaris dan 17 orang Jepang (yang sudah menjadi Kristen) yang dibunuh ketika itu.

Hal-hal penting dari Edik yang dikeluarkan pada tahun 1635 yakni:

1. Orang-orang Jepang dibatasi oleh pemerintah sendiri. Sejumlah aturan ditentukan untuk mencegah mereka meninggalkan Jepang. Dan jika ada hal-hal demikian yang terjadi, mereka akan dihukum mati. Orang-orang Eropa yang masuk ke Jepang secara ilegal juga akan menghadapi hukuman mati.
2. Katolisisme berusaha dihancurkan. Orang-orang yang ditemukan mengikuti iman Kristen akan di interogasi dan setiap orang yang menjalin hubungan dengan Katolisisme akan dihukum. Untuk menemukan orang-orang yang masih menjadi Kristen, penduduk diiming-imingi hadiah bagi orang-orang yang menemukannya. Tindakan pencegahan atas aktivitas misionaris juga ditekankan melalui edik tersebut; tidak ada misionaris yang diizinkan masuk, dan jika ditemukan mereka akan dihukum.
3. Penutupan hubungan perdagangan dan membatasi barang-barang perdagangan ditetapkan untuk membatasi pelabuhan-pelabuhan yang terbuka untuk perdagangan bagi pedagang yang telah diizinkan masuk. Hubungan dengan Portugis ditutup secara keseluruhan; pedagang-pedagang Cina dan VOC dibatasi untuk hanya berdagang di Nagasaki.

Masa Pemerintahan Tokugawa Ieyesu

Pada tahun 1608, hubungan diplomatis antara Holland (Belanda) dengan Jepang dimulai. Kebijakan Jepang ketika itu selain untuk membatasi pekerjaan misionaris Kristen juga untuk memajukan perdagangan. Spanyol dan Portugis dipaksa untuk meninggalkan pelabuhan masuk mereka (Dejima) di Nagasaki, karena mereka menyiarkan kekristenan di balik pelayanan kesehatan dan juga mereka diisukan sedang berusaha untuk menguasai Jepang.

Perlu dicatat bahwa Tokugawa Ieyasu yang berkuasa pada tahun 1600 pada mulanya masih berniat untuk bersikap toleran terhadap kehadiran para misionaris. Hal ini disebabkan dia mengharapkan sejumlah keuntungan melalui perdagangan yang dijalin dengan Portugis. Akan tetapi kedatangan kaum protestan Belanda dan para pedagang Inggris membuat dia bersikap lebih bebas untuk tidak bergantung pada pedagang Portugis. Akhirnya ia beralih haluan mengikuti pendahulunya menentang kekristenan. Pada tahun 1614 kemudian Tokugawa memerintaha para misionaris untuk meninggalkan Jepang, kebanyakan dari mereka diusir akan tetapi 40 diantaranya, termasuk penginjil keturunan Jepang tetap tinggal untuk melanjutkan pekerjaan mereka di bawah tanah.

Pada tahun 1612, Tokugawa Ieyesu menunjukkan arah anti Kristen setelah insiden yang terjadi di Madre de Deus. Alasan Keshogunan Tokugawa membuat kebijakan anti-kristen tampak secara kompleks dalam ‘Pengusiran terhadap Bateren’ yang disusun oleh Biksu Zen yang bernama Konchin Suden di Iegasu pada tanggal 1 Februari 1614.20 Kemudian Tokugawa Iemitsu mengeluarkan Edik Sakoku pada tahun 1635, yang merupakan edik ketiga yang dikeluarkan sejak tahun 1623 sampai tahun 1651. Dengan munculnya edik ini, ditutuplah Jepang atas hubungan dengan dunia luar. Ini adalah salah satu dari banyak keputusan yang ditulis oleh Iemitsu untuk menghilangkan pengaruh Katolik, dan memaksakan aturan pemerintah. Edik ini ditulis pada dua pemimpin di Nagasaki, sebuah kota pelabuhan yang terletak di sebelah utara Jepang. Alasan utama yang kemudian membuat Jepang menutup hubungan mereka secara penuh adalah perhatian pemerintah untuk menerapkan kendali penuh atas rakyatnya. Hal ini tidak akan mungkin terjadi jika ada interfensi dari agama Kristen yang pada saat itu sangat aggresif dan tidak toleran terhadap masalah yang ada. Sebagai dampak dari keluarnya edik ini maka selama periode penyiksaan Iemetsu di tahun 1622, 51 orang Kristen dibunuh di Nagasaki. Dan dua tahun kemudian 50 orang dibakar hidup-hidup di Edo (sekarang Tokyo). Totalnya sebenarnya ada 3000 orang yang telah menjadi martir, jumlah ini belum termasuk pada orang-orang yang mati karena penderitaan yang mereka alami di penjara. Dan pada tahun 1633 sebanyak 30 misionaris dibunuh dan pada tahun 1637 hanya 5 orang yang dapat hidup bebas.

Pada masa Restorasi Meiji

Selama 250 tahun pintu Jepang ditutup (sejak keluarnya edik Sakoku) sampai pada waktu Commodore Perry membawa empat kepal perang ke Shimoda pada tanggal 8 Juli 1853. Enam tahun kemudian westernisasi berlanjut dengan kedatangan 7 misionaris Protestan. Akan tetapi ternyata hal ini tidak langsung berdampak baik pada kekristenan. Pada awal restorasi yang dilakukan oleh Meiji pada tahun 1867, kebijakan anti-Kristen masih berlaku. Sayangnya pada waktu itu, golongan Kristen bawah tanah yang selama ini bertahan dalam masa pengejaran dan pembantaian telah sempat ditemukan di Nagasaki. Mereka yang bertahan yang disebut sebagai Kakure Kiristan ditemukan selama empat kali sejak 1790 sampai 1865. Mereka kemudian dibantai dan kejadian ini dikenal sebagai Urakami Kazure. Pembantaian ini lebih hebat dan lebih besar daripada pembantaian yang telah pernah terjadi di jaman Tokugawa. Pada ketika ini dibunuh 3.384 orang yang masih tetap bertahan dalam kekristenan. Akan tetapi pembantaian ini berakhir setelah tahun 1873.

Penutup

Yang perlu dicatat dari orang-orang Jepang adalah toleransi mereka atas keberagamaan. Semua tindakan-tindakan pembunuhan mereka terhadap kekristenan hanyalah diakibatkan oleh masalah sosial dan politik. Eksklusifisme kekristenan dengan sikapnya yang tidak toleran terhadap agama lain menimbulkan berbagai implikasi. Misionaris oleh karenanya dipandang sebagai katalis untuk kolonialisme Barat atas Jepang. Dasar yang lebih nyata adalah kekristenan dipandang sebagai penyebab tidak berfungsinya elemen-elemen masyarakat yang tentunya akan melemahkan kekuasaan mereka. Akhirnya, penekanan Kristen atas kesadaran individual dipandang sebagai subversif dalam masyarakat yang sungguh penting bersatu atas pengabdian tak bersyarat pada penguasa.

Dalam pandangan yang lebih populer, kekristenan masih dipandang sebagai ‘asing’. Para misionaris mengkotbahkan hal-hal yang baik akan tetapi tidak cocok bagi kebudayaan Jepang. Oleh karena hakikatnya yang ‘asing’ itu, agama tersebut dibantai ketika pemerintah harus menyatukan penduduk di bawah kesatuan nasional yang kuat (oleh Tokugawa).

Sejumlah aspek pengajaran Kristen yang secara mendalam sangat berbeda dengan pola pemikiran tradisional Jepang dan penampilannya sebagai contoh adalah monoteisme lawan politeisme; konsep Allah yang transenden melawan imanensi dewa-dewa Jepang; dan etika individual lawan etika yang berpusat pada kelompok. Tidak dapat dibantah bahwa kekristenan yang terorganisir dapat mengambil tempat sebagaimana yang diterima oleh Buddha (yang juga adalah agama impor). Dengan keadaan yang demikian dapat kita lihat bahwa keshogunan pada masa penginjilan di Jepang sangat ditakutkan oleh anggapan mereka yang melihat kekristenan sebagai jalan bagi negara asing untuk menaklukkan Jepang. Disamping itu ajaran Kristen mengenai kebebasan individual dan etika bertentangan dengan kehendak keshogunan yang mengharapkan pengabdian mutlak penduduk atas kekuasaannya. Sebagai akibatnya, sekitar 280.000 orang telah disiksa dan 3000-6000 orang dibunuh.

Ada dua sebab yang menyebabkan keluarnya edik perlawanan terhadap kekristenan. Pertama adalah bersifat ideologis dan kedua adalah masalah politik praktis. Kekristenan menawarkan bentuk alternatif yakni suatu otoritas mandiri individu di luar tradisi Jepang dan bakufu. Ini tidak dapat diterima oleh penguasa Jepang. Rezim mereka membutuhkan loyalitas penuh dari masing-masing penduduknya. Penganut agama Buddha dibiarkan adalah karena agama Buddha telah diterima sebagai agama Jepang, dengan melihat kenyataan bahwa dia sudah ada sejak lama. Akan tetapi disamping itu selain karena memang pada saat itu agama Buddaha sangat lemah, ada juga pendapat bahwa Hideyoshi memandang penganut agama Buddha dapat dihancurkan dengan memanfaatkan tindakan-tindakan penindasan yang dilakukan oleh institusi keagamaannya. Oleh karena itu dia dapat memperalat institusi agama Buddha untuk
kehancurannya sendiri.

Dari apa yang telah diuraikan tampaklah bagi kita bahwa ternyata pada dasarnya usaha penginjilan tidak mencapai hasil yang diharapkan. Pada kebalikannya justru karena metode yang tidak dijalankan sebagaimana mestinya dan dikarenakan oleh berbagai faktor, kekristenan justru malah menjadi ‘bulan-bulanan’ pemerintah Jepang. Dalam hal ini, persoalan signifikan yang dapat kita lihat adalah bahwa usaha penginjilan gagal menyentuh lapisan paling atas masyarakat di Jepang ketika itu.

Usaha pendekatan yang dilakukan oleh misionaris Yesuit pada pihak penguasa lokal (daimyo) juga tidak memberikan dampak yang berarti bagi perkembangan kekristenan. Pada keadaan yang terlihat diatas, para daimyo justru tidak sepenuhnya memahami arti menjadi Kristen. Mereka tidak menyadari akan pentingnya penyebaran injil ke lapisan atas masyarakat. Adapun usaha yang mereka lakukan masihlah bersifat pemaksaan dan tidak berdasarkan pertobatan yang sungguh.

Sebagai tambahan, penyebab gagalnya penginjilan yang dilakukan oleh pihak misionaris ke lingkungan istana adalah karena keadaan politik pemerintahan ketika itu tidak mendukung akan kemungkinan terjadinya komunikasi yang baik dengan kaisar. Hal ini dikarenakan ketika itu, Jepang masuk pada periode keshogunan dimana kaisar diperlakukan hanya sebagai simbol dari Jepang itu sendiri. Pemerintahan secara penuh diatur oleh shogun yang dapat dikatakan sebagai perdana menteri. Hal ini mau tidak mau menyebabkan terjadinya kemandekan usaha penginjilan di lingkungan atas.

Hal yang lebih penting lagi, yang menyebabkan tidak tersentuhnya lapisan atas adalah karena
besarnya rasa nasionalisme Jepang terhadap negaranya. Kemungkinan besar ini disebabkan oleh pengaruh agama mereka yang mengatakan bahwa dengan kecintaan dan pengabdian kepada kaisarlah (negara) maka rakyat akan memperoleh keselamatan. Hal ini dikarenakan pada saat itu Shintoisme menekankan bahwa kaisar merupakan perwujudan dari dewa berfungsi untuk menyelamatkan manusia. Dengan keadaan nasionalisme yang kuat ini, oleh karena kekristenan telah terlebih dahulu memperoleh image yang buruk (melalui peristiwa kapal San Felipe) maka pihak shogun sendiri mulai antipati terhadap kekristenan. Sehingga oleh karena mereka dianggap sebagai mata-mata asing, maka tidak dapat dihindarkan bahwa shogun pun tidak dapat disentuh oleh usaha penginjilan.

0 komentar:

Post a Comment