Kekristenan pertama
sekali diperkenalkan oleh misionaris Yesuit Spanyol yang bernama Franciscus Xaverius.
Ia tiba pada tanggal 15 Agustus 1549 bersama dua orang misionaris Yesuit
lainnya (Jpg: Iezusu Kai) dan seorang Jepang yang bernama Anjiro yang bertugas
sebagai penerjemah untuknya (bertemu dengannya di Malaka pada tahun 1547).
Xaverius sampai di Kagoshima di pulau Kyushu atas izin dari Daimyo Satsuma yang
bernama Shimazu. Dia menginjili dan menyusun sebuah katekhismus kecil. Hasilnya
ia mampu men-tobat-kan sekitar 100 orang menjadi Kristen.
Berdasarkan catatan Nippon Seikyo-shi (Sejarah
Agama Barat di Jepang), Franciscus Xaverius dalam penginjilannya juga merawat
orang-orang sakit (akan tetapi terbatas pada perawatan). Selama tinggal di
Jepang beberapa tahun (dia meninggalkan Jepang ke India di akhir 1551) di
kelihatannya memiliki motto “Sewaktu di Roma bertindaklah seperti yang
dilakukan oleh penduduk Roma”. Sebagai akibatnya demi mengikuti selera penduduk
Jepang, ia memasukkan sejumlah unsur Buddhisme dan Shinto yang masuk dalam
ibadah Kristen. Oleh karena Xaverius memahami bahwa Buddhisme Jepang adalah sekte
monoteis (dewanya disebut sebagai Danichi), Xavier kemudian pergi memberitakan
bahwa Danichi adalah Allah Kristen. Hal ini malah membingungkan masyarakat.
Mereka menganggap bahwa kekristenan hanyalah salah satu sekte agama Buddha.
Setelah mengetahui hal ini, dia kemudian turun ke jalan menentang orang-orang
Buddha. Akan tetapi hal ini malah berakibat lain yang tidak diharapkannya.
Permasalahan yang lebih parah terlihat ketika ia harus menghadapi sejumlah dosa
yang dilihatnya dalam budaya Jepang. Salah satu dosanya adalah masalah sodomi.
Setelah Yesuit masuk, keadaan politis Jepang yang
terpisah-pisah memberi kesempatan penyebaran agama ke berbagai daerah, secara
khusus di Kyushu dimana Daimyo Kristen seperti Omura Sumitada dibaptis menjadi
Kristen. Dalam hubungan dengan pekerjaan misionaris Yesuit yang secara politis
sensitif, ordo Fransiskan mengadopsi sebuah pendekatan penginjilan yang lebih
agresif. Akan tetapi kelihatannya ordo Yesuit dan ordo Franciscan tidak
menjalin kerjasama yang baik. Mereka masing-masing membawa kepentingannya
sendiri. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh latar belakang negaranya
masing-masing. Ordo Yesuit berasal dari Portugis dan ordo Fransiskan dari
Spanyol. Sehingga oleh karena begitu pentingnya perdagangan, menyebabkan timbulnya
dua kelompok di dalam kekristenan Jepang. Yesuit melihat derajatnya lebih
tinggi dari pada Fransiskan. Mereka hidup diantara kaum Daimyo dan memfokuskan
perhatiannya pada golongan atas masyarakat, penguasa kelompok samurai.
Sementara di lain pihak, Fransiskan dengan rendah hati dan kehidupan yang
sederhana berusaha untuk mengusahakan pertobatan diantara golongan yang lebih
rendah. Pada dasarnya hal ini membawa kehancuran pada keduanya.
Berbagai masalah lain juga muncul yang
mengakibatkan terhalangnya perkembangan kekristenan ke dalam masyarakat Jepang.
Penghalang utama terdapat pada masalah keuangan dan kesalahpahaman etnis.
Gereja tidak pernah secara penuh mendukung misi yang dilakukan oleh ordo
Yesuit. Sehingga oleh karenanya mereka harus berusaha untuk menjalankan misi
atas dasar usaha mereka secara mandiri. Dengan keadaan yang demikian ketika
Valignano datang ke Jepang pada tahun 1579, ia menyadari bahwa misi akan sangat
berkembang dengan mengirim sejumlah orang Kristen Jepang ke Roma. Selain untuk
memperkenalkan Eropa kepada orang-orang Jepang dengan membawa empat orang
anak-anak, ia ingin menunjukkan bagaimana hasil pekerjaan Ordo Yesuit (yang
bekerja di Asia Timur) akan mengatasi berbagai kerugian yang ditimbulkan oleh
Reformasi. Melaluinya Ia juga berharap agar paus mendukung monopoli Yesuit atas
Jepang dan memberikan bantuan bagi mereka.
Disamping usaha yang demikian, kaum Yesuit juga
terpaksa bergabung dengan sejumlah usaha perdagangan. Akan tetapi usaha mereka
ini justru menimbulkan kecurigaan pemerintah. Ordo Yesuit tidak pernah hadir
secara aktif untuk menjalankan gereja dan menyebarkan ajarannya. Mereka tidak
mengajari penduduk yang telah menjadi Kristen untuk turut serta memberitakan
Injil. Hal ini tidak mereka lakukan karena rasa tidak percaya terhadap
orang-orang Jepang. Dengan keadaan yang demikian, maka hal ini menyebabkan dua
hal, pertama jumlah mereka tidak bertambah banyak, dan kedua hal itu
menimbulkan kebencian orang-orang Jepang yang telah dibaptis.
Kaum Yesuit pada ketika itu, bagaimanapun juga
terlibat dalam dunia politik. Mereka berusaha untuk mempengaruhi dunia
perdagangan untuk keuntungan mereka sendiri, dan bahkan berniat untuk memiliki
kekuasaan di sana. Hal yang paling nyata adalah pengambil-alihan Nagasaki. Akan
tetapi mereka tidak berkuasa disana lama-lama karena Hideyoshi memergoki mereka
saat melakukan kegiatannya di Nagasaki. Contoh lain adalah pendekatan Yesuit
pada kaisar untuk memperoleh kuasa untuk melawan Hindeyoshi. Semua tindakan ini
dianggap subversif pada bakufu (pemerintah Jepang). Dan memang demikianlah
kenyataannya. Ketika pada akhirnya Tokugawa menyatukan Jepang, satu dari
tindakan utamanya adalah untuk mengusir orang-orang Kristen.
Selain apa yang telah disebutkan di atas, oleh
karena masyarakat Jepang ketika itu terdesentralisasi, menyebabkan ordo Yesuit
berada dalam posisi yang menguntungkan dan juga sekaligus merugikan. Disatu
sisi mereka harus memusatkan perhatiannya pada para daimyo yang tentunya tidak
praktis. Akan tetapi di sisi lain ini juga menguntungkan. Sebab mereka dapat
berpindah dan mendapat perlindungan dari daimyo yang telah mereka injili ketika
ada daimyo yang menolak mereka. Namun hal ini tidak berlangsung lama sejak
Tokugawa menyatukan Jepang. Melalui kedudukannya ia dapat menelurkan satu
keputusan untuk melakukan perlawanan dengan edik-ediknya.
Pertobatan para Daimyo
Daimyo Kristen juga turut secara aktif membantu
misionaris Yesuit untuk mengusahakan pertobatan di daerahnya. Kadang melalui
paksaan, intimidasi dan pengrusakan simbol-simbol religius penduduk setempat
dan juga pengrusakan institusi-institusinya. Akan tetapi disamping usaha untuk
menginjili, mereka juga harus tetap bertahan ketika Hideyoshi memberlakukan
penutupan kekristenan di Jepang tahun 1578. Mereka bahkan sampai menghilang
ketika rezim Tokugawa mulai melakukan pengejaran dan pembantaian terhadap agama
Kristen.
Secara umum motivasi pertobatan mereka ada
bermacam-macam. Omura Sumitada (Don Batholomeo) penguasa daerah Sonogi di
provinsi Hizen (sekarang bagian dari Nagasaki) tertarik menjadi Kristen tahun
1563 setelah Yesuit berjanji untuk menjamin bahwa kapal dagang Portugis akan
datang ke daerah kekuasaannya. Dia kemudian memberikan daerah Nagasaki pada
Yesuit tahun 1580. Otomo Sorin pemimpin di provinsi Bungo (sekarang bagian dari
Oita) adalah penguasa Kyushu. Ia dibaptis pada tahun 1578 setelah sebelumnya
berteman selama kurang lebih 27 tahun dengan para misionaris Yesuit. Sejumlah
Daimyo menjadi Kristen melalui pengaruh pertemanan. Sebagai contoh Takayama
Ukon (Don Justo) dibaptis tahun 1564 atas pengaruh Gamo Ujisato (Don Leao) dan
Ijisato membantu Ukoto untuk meyakinkan Kuroda Yoshitaka (Don Simeao). Tetapi
para daimyo Kristen tidak pernah mengusahakan sebuah gerakan kesatuan,
loyalitas iman ordo Yesuit telah salah sasaran. Mereka lebih mengutamakan
kepentingan pribadi mereka daripada kepentingan perkembangan gereja. Mereka
masih mengutamakan statusnya sebagai daimyo daripada iman kristennya.
Pergumulan yang Dihadapi oleh Misionaris di Jepang
Masa Pemerintahan Toyotomi Hideyoshi
Oda Nobunaga, selama rezimnya sebagai pemimpin
militer di Jepang di tahun 1570an dan 1580an bertemu dengan usaha penginjilan
yang dilakukan oleh Katolik. Harapannya untuk bersaing dengan saingannya yang
beragama Buddha mendorongnya untuk membiarkan aktivitas misionaris Katolik di
Jepang. Di Kyoto, ibukota Jepang selama abad ke-17, sejumlah orang telah
dibabptiskan menjadi Kristen. Akan tetapi ketika kekuasaan beralih pada
Toyotomi Hideyoshi (yang memimpin Jepang sejak tahun 1582 sampai 1598), sikap
anti Eropa mulai muncul.
Pertama sekali Toyotomi Hideyoshi (dikenal sebagai
Taikosuma) yang tinggal di Puri Osaka tidak terlalu ambil pusing dengan
keberadaan misionaris Kristen. Akan tetapi masalah mulai muncul ketika
kepulangannya dari Kyushu. Sebelumnya dia mengumumkan sebuah peringatan di
Hakata (sekarang Fukuoka) pada tanggal 23 Juli 1587 untuk menentang penginjilan
yang dilakukan melalui pemaksaan. Esok harinya ia mengeluarkan dekrit bahwa
misionaris Yesuit (bateren) harus meninggalkan Jepang dalam 20 hari. Meskipun
dalam masa itu sejumlah gereja dihancurkan, tidak ada misionaris yang
meninggalkan Jepang secara permanen.
Masalah semakin runyam ketika pada tanggal 26
Agustus 1596 kapal perang San Felipe (Spanyol) berlayar dari Manila ke Acapulco
dan menyandar ke pantai Shukoku di sebelah tenggara kepulauan Jepang. Kapal
tersebut berlabuh di pantai Urado di prefektur Tosa yang sekarang dikenal
sebagai Kochi. Kapal-kapal mereka yang dilengkapi dengan persenjataan
menimbulkan keraguan dan menyebabkan Hideyoshi kehilangan kepercayaan atas
Eropa. Hal ini dikarenakan ia mengetahui bahwa Philippina baru ditaklukkan oleh
Spanyol. Hideyoshi yakin bahwa mereka tidak boleh dipercaya. Hal ini kemudian
segera menimbulkan pertanyaan di kalangan penguasa Jepang. Barang muatannya
diambil alih oleh shogun Hideyoshi untuk menghindari kemungkinan usaha Spanyol
untuk menguasai Jepang.
Akan tetapi tidak cukup sampai di situ, untuk dalam
usaha untuk segera menyelesaikan persoalan keamanan nasional tersebut ordo
Fransiskan kemudian dituduh sebagai mata-mata Spanyol. Fransiskan menyangkal
bahwa cerita itu tidak benar dan menekankan bahwa hal itu adalah kebohongan
yang dibuat oleh ordo Yesuit untuk menyingkirkan mereka. Pada akhirnya setelah
peristiwa ini Hideyoshi memperbaharui lagi dekritnya atas misionaris Kristen.
Dengan dekrit ini terbunuhlah 26 martir pada tanggal 5 Februari 1597. Toyotomi
Hideyoshi memerintahkan Terazawa Hazaburo (saudara dari gubernur Nagasaki)
membunuh mereka di bukit Nishizaka. Para tahanan dipaksa untuk melakukan
perjalanan panjang selama musim dingin dari prefektur Tosa (Shikoku) ke
Nagasaki (Kyushu) dimana mereka akan dibantai di depan umum. Bagi Terazawa
sendiri, hal ini sangat berat mengingat bahwa salah satu misionaris yang akan
dieksekusi adalah teman karibnya, yakni Paul Miki. Dua misionaris Yesuit
lainnya yang bernama Pasuo dan Rodriguez disuruh untuk memimpin ibadah eksekusi
mereka. Jika diperinci, terdapat 9 orang misionaris dan 17 orang Jepang (yang
sudah menjadi Kristen) yang dibunuh ketika itu.
Hal-hal penting dari Edik yang dikeluarkan pada
tahun 1635 yakni:
1. Orang-orang Jepang dibatasi oleh pemerintah
sendiri. Sejumlah aturan ditentukan untuk mencegah mereka meninggalkan Jepang.
Dan jika ada hal-hal demikian yang terjadi, mereka akan dihukum mati.
Orang-orang Eropa yang masuk ke Jepang secara ilegal juga akan menghadapi
hukuman mati.
2. Katolisisme berusaha dihancurkan. Orang-orang
yang ditemukan mengikuti iman Kristen akan di interogasi dan setiap orang yang
menjalin hubungan dengan Katolisisme akan dihukum. Untuk menemukan orang-orang
yang masih menjadi Kristen, penduduk diiming-imingi hadiah bagi orang-orang
yang menemukannya. Tindakan pencegahan atas aktivitas misionaris juga
ditekankan melalui edik tersebut; tidak ada misionaris yang diizinkan masuk,
dan jika ditemukan mereka akan dihukum.
3. Penutupan hubungan perdagangan dan membatasi
barang-barang perdagangan ditetapkan untuk membatasi pelabuhan-pelabuhan yang
terbuka untuk perdagangan bagi pedagang yang telah diizinkan masuk. Hubungan
dengan Portugis ditutup secara keseluruhan; pedagang-pedagang Cina dan VOC
dibatasi untuk hanya berdagang di Nagasaki.
Masa Pemerintahan Tokugawa Ieyesu
Pada tahun 1608, hubungan diplomatis antara Holland
(Belanda) dengan Jepang dimulai. Kebijakan Jepang ketika itu selain untuk
membatasi pekerjaan misionaris Kristen juga untuk memajukan perdagangan.
Spanyol dan Portugis dipaksa untuk meninggalkan pelabuhan masuk mereka (Dejima)
di Nagasaki, karena mereka menyiarkan kekristenan di balik pelayanan kesehatan
dan juga mereka diisukan sedang berusaha untuk menguasai Jepang.
Perlu dicatat bahwa Tokugawa Ieyasu yang berkuasa
pada tahun 1600 pada mulanya masih berniat untuk bersikap toleran terhadap
kehadiran para misionaris. Hal ini disebabkan dia mengharapkan sejumlah
keuntungan melalui perdagangan yang dijalin dengan Portugis. Akan tetapi
kedatangan kaum protestan Belanda dan para pedagang Inggris membuat dia bersikap
lebih bebas untuk tidak bergantung pada pedagang Portugis. Akhirnya ia beralih
haluan mengikuti pendahulunya menentang kekristenan. Pada tahun 1614 kemudian
Tokugawa memerintaha para misionaris untuk meninggalkan Jepang, kebanyakan dari
mereka diusir akan tetapi 40 diantaranya, termasuk penginjil keturunan Jepang
tetap tinggal untuk melanjutkan pekerjaan mereka di bawah tanah.
Pada tahun 1612, Tokugawa Ieyesu menunjukkan arah
anti Kristen setelah insiden yang terjadi di Madre de Deus. Alasan Keshogunan
Tokugawa membuat kebijakan anti-kristen tampak secara kompleks dalam
‘Pengusiran terhadap Bateren’ yang disusun oleh Biksu Zen yang bernama Konchin
Suden di Iegasu pada tanggal 1 Februari 1614.20 Kemudian Tokugawa Iemitsu
mengeluarkan Edik Sakoku pada tahun 1635, yang merupakan edik ketiga yang
dikeluarkan sejak tahun 1623 sampai tahun 1651. Dengan munculnya edik ini,
ditutuplah Jepang atas hubungan dengan dunia luar. Ini adalah salah satu dari
banyak keputusan yang ditulis oleh Iemitsu untuk menghilangkan pengaruh
Katolik, dan memaksakan aturan pemerintah. Edik ini ditulis pada dua pemimpin
di Nagasaki, sebuah kota pelabuhan yang terletak di sebelah utara Jepang.
Alasan utama yang kemudian membuat Jepang menutup hubungan mereka secara penuh
adalah perhatian pemerintah untuk menerapkan kendali penuh atas rakyatnya. Hal
ini tidak akan mungkin terjadi jika ada interfensi dari agama Kristen yang pada
saat itu sangat aggresif dan tidak toleran terhadap masalah yang ada. Sebagai
dampak dari keluarnya edik ini maka selama periode penyiksaan Iemetsu di tahun
1622, 51 orang Kristen dibunuh di Nagasaki. Dan dua tahun kemudian 50 orang
dibakar hidup-hidup di Edo (sekarang Tokyo). Totalnya sebenarnya ada 3000 orang
yang telah menjadi martir, jumlah ini belum termasuk pada orang-orang yang mati
karena penderitaan yang mereka alami di penjara. Dan pada tahun 1633 sebanyak
30 misionaris dibunuh dan pada tahun 1637 hanya 5 orang yang dapat hidup bebas.
Pada masa Restorasi Meiji
Selama 250 tahun pintu Jepang ditutup (sejak
keluarnya edik Sakoku) sampai pada waktu Commodore Perry membawa empat kepal
perang ke Shimoda pada tanggal 8 Juli 1853. Enam tahun kemudian westernisasi
berlanjut dengan kedatangan 7 misionaris Protestan. Akan tetapi ternyata hal
ini tidak langsung berdampak baik pada kekristenan. Pada awal restorasi yang
dilakukan oleh Meiji pada tahun 1867, kebijakan anti-Kristen masih berlaku.
Sayangnya pada waktu itu, golongan Kristen bawah tanah yang selama ini bertahan
dalam masa pengejaran dan pembantaian telah sempat ditemukan di Nagasaki.
Mereka yang bertahan yang disebut sebagai Kakure Kiristan ditemukan selama
empat kali sejak 1790 sampai 1865. Mereka kemudian dibantai dan kejadian ini
dikenal sebagai Urakami Kazure. Pembantaian ini lebih hebat dan lebih besar
daripada pembantaian yang telah pernah terjadi di jaman Tokugawa. Pada ketika
ini dibunuh 3.384 orang yang masih tetap bertahan dalam kekristenan. Akan
tetapi pembantaian ini berakhir setelah tahun 1873.
Penutup
Yang perlu dicatat dari orang-orang Jepang adalah
toleransi mereka atas keberagamaan. Semua tindakan-tindakan pembunuhan mereka
terhadap kekristenan hanyalah diakibatkan oleh masalah sosial dan politik.
Eksklusifisme kekristenan dengan sikapnya yang tidak toleran terhadap agama
lain menimbulkan berbagai implikasi. Misionaris oleh karenanya dipandang
sebagai katalis untuk kolonialisme Barat atas Jepang. Dasar yang lebih nyata
adalah kekristenan dipandang sebagai penyebab tidak berfungsinya elemen-elemen
masyarakat yang tentunya akan melemahkan kekuasaan mereka. Akhirnya, penekanan
Kristen atas kesadaran individual dipandang sebagai subversif dalam masyarakat
yang sungguh penting bersatu atas pengabdian tak bersyarat pada penguasa.
Dalam pandangan yang lebih populer, kekristenan
masih dipandang sebagai ‘asing’. Para misionaris mengkotbahkan hal-hal yang
baik akan tetapi tidak cocok bagi kebudayaan Jepang. Oleh karena hakikatnya
yang ‘asing’ itu, agama tersebut dibantai ketika pemerintah harus menyatukan
penduduk di bawah kesatuan nasional yang kuat (oleh Tokugawa).
Sejumlah aspek pengajaran Kristen yang secara
mendalam sangat berbeda dengan pola pemikiran tradisional Jepang dan
penampilannya sebagai contoh adalah monoteisme lawan politeisme; konsep Allah
yang transenden melawan imanensi dewa-dewa Jepang; dan etika individual lawan
etika yang berpusat pada kelompok. Tidak dapat dibantah bahwa kekristenan yang
terorganisir dapat mengambil tempat sebagaimana yang diterima oleh Buddha (yang
juga adalah agama impor). Dengan keadaan yang demikian dapat kita lihat bahwa
keshogunan pada masa penginjilan di Jepang sangat ditakutkan oleh anggapan
mereka yang melihat kekristenan sebagai jalan bagi negara asing untuk
menaklukkan Jepang. Disamping itu ajaran Kristen mengenai kebebasan individual
dan etika bertentangan dengan kehendak keshogunan yang mengharapkan pengabdian
mutlak penduduk atas kekuasaannya. Sebagai akibatnya, sekitar 280.000 orang
telah disiksa dan 3000-6000 orang dibunuh.
Ada dua sebab yang menyebabkan keluarnya edik
perlawanan terhadap kekristenan. Pertama adalah bersifat ideologis dan kedua
adalah masalah politik praktis. Kekristenan menawarkan bentuk alternatif yakni
suatu otoritas mandiri individu di luar tradisi Jepang dan bakufu. Ini tidak
dapat diterima oleh penguasa Jepang. Rezim mereka membutuhkan loyalitas penuh
dari masing-masing penduduknya. Penganut agama Buddha dibiarkan adalah karena
agama Buddha telah diterima sebagai agama Jepang, dengan melihat kenyataan
bahwa dia sudah ada sejak lama. Akan tetapi disamping itu selain karena memang
pada saat itu agama Buddaha sangat lemah, ada juga pendapat bahwa Hideyoshi
memandang penganut agama Buddha dapat dihancurkan dengan memanfaatkan
tindakan-tindakan penindasan yang dilakukan oleh institusi keagamaannya. Oleh
karena itu dia dapat memperalat institusi agama Buddha untuk
kehancurannya sendiri.
Dari apa yang telah diuraikan tampaklah bagi kita
bahwa ternyata pada dasarnya usaha penginjilan tidak mencapai hasil yang
diharapkan. Pada kebalikannya justru karena metode yang tidak dijalankan sebagaimana
mestinya dan dikarenakan oleh berbagai faktor, kekristenan justru malah menjadi
‘bulan-bulanan’ pemerintah Jepang. Dalam hal ini, persoalan signifikan yang
dapat kita lihat adalah bahwa usaha penginjilan gagal menyentuh lapisan paling
atas masyarakat di Jepang ketika itu.
Usaha pendekatan yang dilakukan oleh misionaris
Yesuit pada pihak penguasa lokal (daimyo) juga tidak memberikan dampak yang
berarti bagi perkembangan kekristenan. Pada keadaan yang terlihat diatas, para
daimyo justru tidak sepenuhnya memahami arti menjadi Kristen. Mereka tidak
menyadari akan pentingnya penyebaran injil ke lapisan atas masyarakat. Adapun
usaha yang mereka lakukan masihlah bersifat pemaksaan dan tidak berdasarkan
pertobatan yang sungguh.
Sebagai tambahan, penyebab gagalnya penginjilan
yang dilakukan oleh pihak misionaris ke lingkungan istana adalah karena keadaan
politik pemerintahan ketika itu tidak mendukung akan kemungkinan terjadinya
komunikasi yang baik dengan kaisar. Hal ini dikarenakan ketika itu, Jepang
masuk pada periode keshogunan dimana kaisar diperlakukan hanya sebagai simbol
dari Jepang itu sendiri. Pemerintahan secara penuh diatur oleh shogun yang
dapat dikatakan sebagai perdana menteri. Hal ini mau tidak mau menyebabkan
terjadinya kemandekan usaha penginjilan di lingkungan atas.
Hal yang lebih penting lagi, yang menyebabkan tidak
tersentuhnya lapisan atas adalah karena
besarnya rasa nasionalisme Jepang terhadap
negaranya. Kemungkinan besar ini disebabkan oleh pengaruh agama mereka yang
mengatakan bahwa dengan kecintaan dan pengabdian kepada kaisarlah (negara) maka
rakyat akan memperoleh keselamatan. Hal ini dikarenakan pada saat itu
Shintoisme menekankan bahwa kaisar merupakan perwujudan dari dewa berfungsi
untuk menyelamatkan manusia. Dengan keadaan nasionalisme yang kuat ini, oleh
karena kekristenan telah terlebih dahulu memperoleh image yang buruk (melalui
peristiwa kapal San Felipe) maka pihak shogun sendiri mulai antipati terhadap
kekristenan. Sehingga oleh karena mereka dianggap sebagai mata-mata asing, maka
tidak dapat dihindarkan bahwa shogun pun tidak dapat disentuh oleh usaha
penginjilan.
0 komentar:
Post a Comment